Jakarta -
Perdagangan secara elektronik (disingkat e-dagang atau e-commerce) di berbagai negara sudah menjadi kegiatan sehari-hari penduduknya. Berbagai jenis barang dan jasa dapat dengan mudah dibeli secara online (dalam jaringan), dengan menggunakan platform e-commerce atau melalui media sosial.
Konsumen sangat diuntungkan dengan adanya fasilitas e-dagang karena menghemat waktu, banyak pilihan, dan lebih informatif. Di Indonesia konsumen atau pengguna e-dagang diperkirakan sebanyak 50 juta orang, baru sepertiga dari 143 juta pengguna internet saat ini. Pengguna e-dagang dipastikan akan semakin banyak pada tahun-tahun mendatang.
Lintas Negara
Penggunaan internet untuk perdagangan tidak hanya dilakukan antara penjual dan pembeli di dalam negeri, tetapi juga antara penjual dan pembeli dari negara yang berbeda. E-dagang lintas negara (cross-border e-commerce) berkembang karena konsumen di suatu negara ingin membeli barang secaraonline dari negara lain guna mendapatkan produk yang lebih baik dari yang ditawarkan di negeri sendiri, ingin melihat pilihan yang lebih banyak, atau ingin membeli dari toko/penjual yang dapat dipercaya akan keaslian produk yang dicari.
Menurut kajian Accenture sebagaimana dikutip Quan Nguyen (2017), pada 2020 akan ada 2 miliar pembeli online, atau 60% dari seluruh konsumen global. Mereka akan membelajakan 13,5% dari nilai konsumsi ecerannya secara online. Itu berarti akan ada uang sebesar 3,4 triliun dolar AS Nilai Perdagangan Bruto (Gross Merchandise Value-GMV). Sekitar 900 miliar dolar AS (22%) dari nilai ini akan dibelanjakan di negara lain secara online. Bisakah Indonesia meraih cukup banyak nilai e-dagang lintas negara ini?
Beberapa negara tetangga sudah mempraktikkan perdagangan online lintas negara cukup lama. Di Singapura 55% dari nilai e-commerce nasional dilakukan dengan negara lain, jauh di atas Jepang (18%) dan Korea Selatan (25%). Salah satu penyebab tingginya perdagangan online lintas negara di Singapura adalah ketentuan bahwa pembelian barang impor yang tidak dikenakan pajak (de minimis value) cukup tinggi yaitu 400 dolar Singapura. Ini tentunya menjadi peluang bagi pelaku bisnis e-dagang Indonesia.
Namun, ada beberapa kendala yang harus diatasi untuk menjadikan e-dagang lintas negara Indonesia semaju Singapura, Malaysia, atau Thailand. Menurut APEC Business Advisory Council dan University of Southern California (2015), kelangkaan tenaga terdidik yang berpengalaman dalam perdagangan global sekaligus menguasai bisnis e-commerce merupakan kendala utama.
Kendala lain adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan kebanyakan konsumen terhadap sistem pembayaran secara online lintas negara. Ada kekhawatiran akan terjadinya fraud atau masalah dalam pembelian secara online dengan pihak-pihak di negara lain. Kendala bahasa dan terbongkarnya berbagai kasus investasi bodong mungkin menjadi penyebab munculnya masalah ini. Penetrasi kartu kredit di Indonesia juga masih rendah, sekitar 15%, mengurangi daya tarik pelaku bisnis asing untuk menjual barang di sini.
Kendala lain adalah belum banyaknya marketplace lokal yang melayani perdagangan lintas negara, dan masih banyaknya pelaku bisnis yang belum terlibat e-commerce di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, setidaknya masih ada sekitar 40 juta dari 59,7 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum menggunakan fasilitas e-dagang. UMKM yang sudah berjualan di berbagai platform e-dagang pun agaknya masih mendalami perdagangan online, belum berpikir ke arah perdagangan lintas negara.
Kelancaran pengiriman dan penyimpanan barang dalam skala besar merupakan kendala bagi pertumbuhan bisnis online lintas negara. Biaya dan waktu pengiriman barang sangat mempengaruhi harga yang harus dibayar konsumen. Juga, masih banyak penduduk (47%) yang tinggal di pedesaan, yang sebagian belum terjangkau oleh prasarana dan fasilitas logistik yang lancar. Kesempatan penduduk desa untuk berbisnis secara online masih sangat terbatas, padahal potensinya sangat besar.
Kendati pemerintah sudah berusaha untuk membenahi sistem logistik nasional, namun proses kepabeanan dinilai masih rumit, antara lain karena masih ada beberapa instansi yang sama-sama mempunyai kewenangan memberikan izin ekspor dan impor atas komoditas-komoditas tertentu.
Selanjutnya, kecepatan dan keandalan internet merupakan syarat penting pertumbuhan e-commerce. Luasnya wilayah geografis merupakan hambatan bagi pemerintah untuk menyediakan infrastruktur internet pita lebar (tetap dan bergerak) yang merata dan terjangkau.
Gejolak Finansial
Saat ini Indonesia dan beberapa emerging markets lain seperti Turki, Argentina, India, dan Afrika Selatan sedang mengalami gejolak finansial berupa penurunan nilai mata uang yang relatif dalam. Penyebab umum adalah naiknya suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) dan perang dagang antara AS-China. Selain itu, negara-negara ini juga mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang cukup besar. Maka, salah satu cara yang ampuh untuk mengatasi gejolak finansial adalah meningkatkan ekspor seraya mengendalikan impor, di samping transformasi struktural.
Meningkatkan ekspor dapat dilakukan dengan mendiversifikasi komoditas dan negara tujuan ekspor. Selain itu, menambah jumlah pelaku ekspor juga berpotensi akan meningkatkan nilai ekspor. Memperbanyak eksportir dapat dilakukan dengan membuka pintu yang lebih lebar bagi pelaku usaha di dalam negeri untuk melakukan ekspor melalui platform e-dagang.
Pengusaha Indonesia, khususnya UMKM, dapat menawarkan produk-produk budaya, kuliner, dan seni kreasi yang selama ini belum banyak dikenal di negara lain. Mengingat banyak kendala yang membatasi perkembangan e-dagang lintas negara, maka Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali saat ini diharapkan dapat memberikan solusi untuk itu.
Beberapa hal yang dapat disumbangkan untuk UMKM terkait dengan cross-border e-commerce adalah perlunya kesepakatan para pihak untuk menyederhanakan dan menyelaraskan peraturan perdagangan lintas negara, antara lain sistem e-payment, perpajakan, perlindungan konsumen, kepabeanan, dan sebagainya.
Kemudian perlu didorong adanya kerja sama secara bilateral atau multilateral untuk memberikan kemudahan bagi UMKM di masing-masing negara untuk terlibat dalam e-dagang lintas negara. Misalnya, secara bergotong royong membangun fasilitas pergudangan untuk menyimpan bahan makanan atau barang-barang kerajinan di dekat bandara internasional.
IMF dan Bank Dunia diharapkan dapat menampung kepentingan negara-negara peserta khususnya negara-negara berkembang mengenai perdagangan jasa lintas negara untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga tingkat dunia yang terkait, seperti World Trade Organization (WTO).
Selanjutnya, sidang IMF dan Bank Dunia perlu menetapkan kerangka dan target kemajuan pengembangan ekonomi digital, khususnya cross-border e-commerce. Adanya agenda bersama pengembangan e-dagang lintas negara yang terukur akan meningkatkan perdagangan global yang lebih dinamis, inklusif, dan menjadi solusi untuk mengatasi dan mencegah gejolak finansial di kemudian hari.
Upaya-upaya itu diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil, sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan di negara-negara berkembang, dua hal yang menjadi misi IMF dan Bank Dunia.
Herry Darwanto pemerhati kebijakan publik
Sumber : detik.com